........Assalamu’alaikum Ya Ulil-Albab........

Penghimpunan dan Pembukuan Hadits secara sistematik(Al-jam’u wal At-tandzim)


Periode Penghimpunan dan Penertiban Hadits
(Ashr  Al-Jam’I WaTartib al-Hadits)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadis I
Dosen Pengampu :Saifuddin Zuhri Qudsy













JURUSAN ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sepanjang periode tabi’in, atau lebih tepatnya pada era Umar bin Abdul Aziz, telah mulai dilakukan kompilasi dan kodifikasi hadis secara resmi dan publik. Dokumentasi tertulis hadis yang bersifat resmi, pada dasarnya telah dimulai sejak periode Nabi saw.Dan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau memperintahkan kepada seluruh pejabat dan ulama diberbagai daerah untuk mengumpulkan hadits secara resmi dan publik.
Pada periode tabi’ tabi’in kompilasi dan kodifikasi hadis memasuki tahap perkembangan yang sangat penting.Pada periode tabi’in hadis dikumpulkan secara acak, tanpa upaya klasifikasi dan sistematis.Akan tetapi pada periode tabi’ tabi’an dilakukan kompilasi dan kodifikasi hadis secara sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu.
Pada periode setelah tabi’ tabi’in juga berlangsung proseskompilasi dan kodifikasi hadis yang lebih sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu. Hanya saja, dibanding dengan periode sebelumnya, tadwin hadis sepanjang periode ini telah mengalami suatu perkembangan.Pada periode ini terjadi penghimpunan dan penertiban hadis pula.Hadis di susun lebih sistematis dari periode sebelumnya.Sehingga, banyak kitab-kitab hadis yang ditulis dalam bab-bab tertentu.





B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana perkembangan hadis pada periode setelah Tabi’ tabi’in ?
2.      Teknik kodifikasi hadits apa saja yang digunakan pada periode ini ?
3.      Kitab-kitab apa sajakah yang lahir pada periode setelah Tabi’ tabi’in ?

C.    Tujuan penulisan
1.      Mengetahui lebih jauh mengenai perkembangan hadis pada periode setelah Tabi’ tabi’in.
2.      Menjelaskan Teknik-teknik yang digunakan dalam pengkodifikasian hadits pada periode setelah Tabi’ut Tabi’in.
3.      Mengetahui kitab-kitab yang lahir pada periode setelah Tabi’ tabi’in.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan hadis pada periode setelah Tabi’ tabi’in
Sepanjang periode setelah tabi’ tabi’in berlangsung proses komplikasi dan kodifikasi hadis yag lebih sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu. Hanya saja, dibanding dengan periode sebelumnya, tadwin hadis sepanjang periode ini telah mengalami suatu perkembangan.
Ada beberapa cirri yang menandai proses tadwin hadis pada periode ini;
a.       Telah dilakukan pemilihan atau pemisahan antara hadis Nabi saw dengan yang lainnya. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya yang masih menggabungkan antara hadis Nabi saw dengan pendapat-pendapat sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in.
b.      Sudah mulai ada perhatian untuk memberi penjelasan tentang derajat hadis dari segi kesahihan dan kedhaifannya.
c.       Karya-karya hadis yang ditulis dapat berupa: musnad, shahih, sunan, mukhtalif al-hadits, atau lainnya.[1]
Pada  abad ini disebut masa  Penghimpunan dan penertiban (Al-Jam’I al-Tartib), Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama Mutaakhirin atau Khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau Ulama Salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits, ulama mutaqaddimin hadits Nabi dengan cara mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan maupun sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikutnya kecuali hanya sedikit saja.Namun, dari segi tekhnik pembukuan lebih sistematik dari pada masa-masa sebelumnya.[2]

B.     Teknik pembukuan pada periode setelah Tabi’ut Tabi’in abad 4-6
Adapun perkembangan teknik pembukuan pada abad ini yakni pada abad 4-6 ialah sebagai berikut:
1.      Mu’jam, artinya penghimpunan hadits yang berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-mu’jam al-kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 360 H). atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan hadits didasarkan pada nama Masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-mu’jam al-awsath oleh penulis yang sama.
2.      Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits Shahihayn (Al-bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
3.      Al-mustadrok, artinya menambah beberapa hadits shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-bukhori dan Muslim serta memenuhi persyaratan keduanya, seperti Almustadrok ‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdillah Al-Hakim An-Naissaburi (w. 405 H).
4.      Sunan, metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadits-hadits tentang hukum seperti fikih dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dha’if, seperti Muntaqo ibn al-Jarud (w. 307 H), Syarah ad-Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H) .
5.      Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarah Ma’ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-thahawi (w. 458 H).
6.      Mustakhroj, yaitu seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustadrok Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala Shahih Al-Bukhori (w.371 H).
7.      Al-jam’u, gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-jam’u Bayn Ash-shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan ibn al-Furat (w. 401 H).[3]

Periode ini dinamakan Ashru at-Tahdid wa at-Tartibi wa al-Istidraqi wa al-Jami’.[4]
Pada masa berikutnya abad ke 7-8 dan berikutnya disebut masa Penghimpunan dan Pembukuan Hadits secara sistematik(Al-jam’u wal At-tandzim).[5]
Perkembangan penulisan hadis pada abad 8 intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis terdahulu secara sistematik, baik dari segi matan maupun sanadnya guna memberi  kemudahan bagi umat islam untuk mempelajarinya :
1.      Al-Maudhu’at ; menghimpun hadis-hadis yang maudhu’ (palsu) saja ke dalam sebuah buku.
2.      Al-Ahkam; menghimpun hadis-hadis tentang hukum saja.
3.      Al-Athraf; teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadis saja.
4.      Takhrij; seorang muhaddists mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam satu buku hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya,
5.      Zawa’id ; penggabungan beberapa kitab tertentu.
6.      Jawami atau jami’ ; sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi secara mutlak.[6]

Perkembangan penulisan dan pengkodifikasi hadis berlangsung sampai abad 12 H. setelah abad itu sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
Usaha umat islam dalam mengeluarkan hukum dari hadis berjalan dengan baik dari abad pertama, kedua, ketiga hijriyah. Pada abad ke 4 H dan berikutnya umat islam lebih cenderung mengikuti madzhab fiqih gurunya sekalipun dalam suatu masalah menyimpang dari sunnah. Fanatic dalam satu madzhab melemahkan semangat ijtihad, lemahnya pemeriksaan otentisitas suatu hadis, dan mengakibatkan perpecahan di kalangan mereka. Hanya sedikit di antara mereka yang selalu berusaha memelihara ijtihad dari hembusan taklid pada waktu itu, di antaranya; Ibnu abdul Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyahm Ibnu al-Qayyim, Ibnu Hajar al-Asqalani, as-Suyuthi, ash-Shan’ani, Asy-Syaukani, dan Muhammad Abduh.[7]       
C.    Langkah-langkah yang Diambil untuk Memilihara Hadis.
Ulama di samping membukukan hadis dan memisahkan hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if, mereka pula memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdits, ushul-ushul-nya, syarat-syarat menerima riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan  syarat dhaif, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadis-hadis maudhu’(palsu).
Tidak sanggup rasanya orang mempelajari apa yang telah dilaksanakan ulama hadis, sejak dari masa sahabat hingga sempurna pembukuan As-Sunnah terhadap pekerjaan para wudhdha’ (pemalsu hadis). Apa yang telah dikerjakan ulama untuk membedakan sunnah yang shahih dari yang tidak. Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan ulama, kita dapat menetapkan bahwa merekalah ulama yang mula-mula yang menciptakan undang-undang (qawa’id) untuk membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khabar-khabar dan riwayat-riwayat yang diterima dari seluruh umat. Memeng ulama Islam sangat berhati-hati dalam soal menerima berita yang disampaikan kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara Sunnah Rasul dan  untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if, khususnya antara hadis-hadi yang ada asalnya dengan hadis-hadis yang semata-semata maudhu’.
Adapun langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengkritik jalan-jalan menerima hadis sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkan dari lumpur yang mengotorinya ialah mengisnadkan hadis, memeriksa benar tidaknya hadis yang diterima kepada para ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadis, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu’.

a.      Mengisnadkan Hadis
Para sahabat sesudah Nabi saw, wafat, saling mempercayai. Para tabi’in dengan tidak tertegun-tegun menerima hadis yang dirieayatkan kepadanya oleh shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap islam.
Berkenan dengan hal itu, mulailah ulama dari kalangan sahabat. Mereka tidak lagi menerima hadis terkecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawwinya serta keadilan mereka. Ibn Sirin berkata (menurut riwayat muslim dalam muqaddamah Shahihnya), “para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadinya fitnah, maka ketika menerima sesuatu hadis bertanya, siapa yang memberikan hadis itu? Sesudah diketahui sanad, diperiksalah sanad itu terjadi dari ahlus Sunnah. Kalau benar, diambilah hadis itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah hadis itu.” Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah.
Abu Aliyah berkata, “Kami mendengar hadis-hadis dari seorang sahabat. Kami tidak senang kalau tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadis.”
“Isnad itu dari agama. Sekiranya tidak ada isnad (sekiranya kita tidak memerlukan isnad), tentulah siapa saja dapat mengatakan apa yang dia kehendaki.”
“Antara kami dan mereka ialah isnad.”
b.      Memeriksa Benar tidaknya Hadi yang Diterima
Seseorang yang menerima hadis, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadis. Dengan inayah Allah swt,banyak para sahabat yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam hadis, seseorang yang menerima hadis pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadis yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddamah shahih-nya dari ibnu Abi Mulaikah:
“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menuliskan untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan(yang tidak baik) pada saya.[8]

D.    Kompilasi-kompilasi hadits pada periode Setelah Tabi’ tabi’in
Perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi hadis, khususnya di kalangan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, mencapai puncaknya pada periode setelah tabi’ tabi’in.hal itu ditandai dengan penyempurnaan beberapa kitab hadis utama yang dikenal dengan al-kutub al-sittah.
Berikut ini beberapa contoh kitab yang lahir pada masa ini :
a.      Shahih al-Bukhariy
Kitab yang ditulis oleh al-Bukhariy ini dianggap sebagai karya paling otoritatif di antara enam kitab hadis utama sunni. Judul lengkapnya adalah al-Jami’ al-Musnad as-Shahih al-mukhtashar min Umar Rasulullah Shallallah ‘alaih wa Sallam wa Sunanih wa Ayyamih. Sistematika kitab Shahih al-Bukhriy terdiri atas beberapa bab dan jumlahnya mencapai 97 judul bab, jumlah hadisnya mencapai 7.563 buah.
b.      Shahih Muslim
Kitab ini ditulis oleh Muslim. Judul lengkapnya adalah Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl an al-‘adl ‘an Rasul illah Shallallah ‘alaih wa Sallam.Jumlah hadis yang termuat di dalamnya sekitar 4.000 buah tanpa pengulangan, atau 12.000 buah dengan pengulangan. Sistematika pembahasannya terdiri atas 54 bab yang masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa subbah (bab). Judul bab dan sub babnya tidak ditulis oleh Muslim sendiri, tetapi dicantumkan oleh para ulama dan pensyarah yang hidup sesudahnya.
c.       Sunan Abi Dawud
Karya yang disusun oleh Abu Dawud ini dipandang sebagai salah satu karya terbaik dan terlengkap dalam bidang hukum.Sistematika pembahasannya diurutkan berdasarkan klasifikasi bab-bab fiqih. Terdiri dari 40 judul bab. Jumlah hadis yang dimuat sebanyak 4.800 buah tanpa pengulangan, atau 5.274 buah dengan pengulangan.
d.      Jami’ al-Tirmidziy
Kitab jami’ ini disusun oleh al-Tarmidziy judul lengkapnya adalah al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘an Rasullillah Shallallah ‘alaih wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’alaih al-‘Amal.Sistematika kitab ini diurutkan berdasarkan bab-bab fiqih dan bab-bab lainnya. Susunan bab (kitab) di dalamnya terdiri atas 46 judul bab. Jumlah hadis yang dihimpun sekitar 3.956 buah.



e.       Sunan al-Nasa’iy
Kitab sunan ini ditulis oleh an-Nasi’iy. Judul awalnya dalah al-Mujtaba, namun kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan al-Sughra atau Sunan an-Nasa’iy. Metode penyusunannya mengikiuti sistematika fiqih, susunan babnya terdiri atas 51 judul bab. Jumlah hadisnya sebanyak 5.761 buah.Kitab ini teah diriwayatkan oleh para ulama, naik melalui naskah ataupun pendengaran.
f.        Sunan Ibn Majah
Karya ini disusun oleh Ibn Majah.Mtode penyusunannya berdasarkan urutan bab-bab fiqih. Sistematiak pembahasannya terdiri atas 32 bab (kitab) dan 1.500 subbah (bab). Jumlah hadisnya mencapai 4.341 buah.
g.      Al-Mahasin al-Barqiy
Kitab al-Mahasin ditulis oleh al-Barqiy.Newman mencatat bahwa kitab ini merupakan koleksi hadis besar pertama di limgkungan syi’ah Imamiyah.Bagi kaum Syi’ah sendiri, kitab al-Mahasin diakui sebagai salah satu kitab yang paling agung dan sumber yang dapat dipercaya. Disusun ke dalam beberapa bab. Jumlah hadisnya mencapai 2.705.
h.      Basha’ir al-Darajat al-Shaffar al-Qummiy
Kitab hadis ini disusun oleh al-Shaffar al-Qummiy.Judul lengkapnya adalah Basha’ir al-Darajat fi Ulum ‘Ali Muhammad wa Ma Khashshahum Allah bih. Kandungan hadis yang termuat dalam kitab Basha’ir al-Darajat dapat dijabarkan sebagai berikut: juz I berisi 235 hadis, juz II 212 hadis, juz III 163 hadis, juz IV 171 hadis, juz V 148 hadis, juz VI 182 hadis, juz VII 199 hadis, juz VIII 153 hadis, juz IX 181 hadis, dan juz X 238 hadis. Jadi, jumlaj keseluruhannya mencapai 1882 buah.[9]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
      Pada periode ini proses pengkodifikasian hadits sudah sampai pada tahap Penghimpunan dan Penertiban hadits secara sistematis.Serta pada periode ini pula telah muncul teknik-teknik pembukuan atau pengkodifikasianhadits diantaranya adalah dalam bentuk Mu’jam,Shahih,Mustadrak,Sunan,Al-Jam’u,Ikhtisar,Istikhraj dan Syarah yang mana teknik pengklasifikasian ini bertujuan untuk lebih memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mempelajari hadits.
Saran
Demikianlah makalah ini kami buat yang tentunya tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan sebagai bahan acuan penulisan makalahke arah yang lebih baik.Terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA

Khon,Abdul majid.2011.Ulumul hadis .Jakarta: Amzah.

Saifuddin.2011.Arus Tradis Tadwin Hadits dan Historiografi Islam.Yogyakarta :  

Pustaka pelajar.

Solahuddin,Muhammad.2013.Ulumul Hadis.Bandung: Pustaka Setia.
Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad.2009.Sejarah dan Pengantar Ilmu                         .           Hadits.Semrang : Pustaka Riski Putra.hlm.




[1]  Saifuddin, Arus Tradisi Hadits dan Historiografi Islam( Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011), hlm. 157
[2]  Abdul majid khon, Ulumul hadis( Jakarta: AMZAH, 2011), Hlm. 58
[3]Ibid, hlm. 60
[4]  Muhammad Solahuddin, Ulumul Hadis,( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hlm. 45
[5] Abdul majid khon, Ulumul hadis,( Jakarta: Amzah, 2011), Hlm Ibid, hlm. 61
[6]Ibid, hlm. 61-62
[7]  Abdul majid khon, Ulumul hadis( Jakarta: AMZAH, 2011), Hlm.63
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Semrang : Pustaka Riski Putra),hlm.64-68
[9] Muhammad Solahuddin, Ulumul Hadis ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hlm.158-161


Written by

0 komentar:

" Berkomentarlah dengan bijak " :)