Akad Nikah Via-Online
Coba buat dan ngirim artikel ke Media Massa,semoga bisa ke-publish.
Akad Nikah Via-Online,Bolehkah??????
Pernikahan
merupakan salah satu dari sekian banyak sunnatullah yang disyari’atkan Allah
kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan dan antara laki-laki dengan
perempuan sebagai khalifah di bumi. Pernikahan merupakan suatu ikatan antara
laki-laki dengan perempuan yang bukan mahrom di mana segala sesuatu yang asal
mulanya haram di lakukan menjadi halal dilakukan,segala sesuatu yang asal
mulanya dilarang untuk melakukannya diantara kedua belah pihak menjadi sesuatu
yang diperintahkan diantara keduanya.
Namun seiring
berjalannya waktu,seiring dengan majunya peradaban dan teknologi ada juga yang menggunakan perkembangan tekhnologi ini untuk melakukan akad
pernikahan entah itu melalui telepon,internet,maupun media komunikasi yang lain.Lalu
bagaimanakah hukum pernikahan Via Online menurut perspektif Islam??
Adapun sebelum kita
melangkah lebih jauh tentang permasalahan ini ada baiknya perlu kita bahas
terlebih dahulu mengenai rukun dan syarat nikah yang telah ditetapkan oleh para
ulama terdahulu sebagai tolak ukur diterima (sah) atau tidaknya suatu pernikahan.
Adapun dalam kitab Fathu al-Qorib karya Syekh Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Qasim al-Syafii tentang rukun dan syarat-syarat nikah disebutkan : adanya
calon suami dan calon istri yang saling rela antara satu dengan yang
lainnya,adanya Shighat akad nikah atau ijab qobul dan adanya 2 orang
saksi yang adil serta adanya wali dari pihak calon istri. Selain itu hendaknya
Wali dan dua orang saksi harus memenuhi 6 syarat diantaranya :
Islam,Baligh,Berakal (tidak gila),Bebas (merdeka),dan Adil.Yang mana dari
keenam syarat tersebut antara satu dengan yang lain harus ada dan saling
melengkapi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Daruqutni,dan
Ibnu Majjah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda : “ Tidak
sah suatu pernikahan apabila tanpa wali yang cerdas dan dua saksi yang adil “
Sedangkan dalam madzhab maliki selain dari 5 syarat yang telah disebutkan di
atas terdapat penambahan mahar sebagai syarat sahnya nikah.
Peng-interpretasian para ulama dalam
menanggapi hadits tentang perwalian di atas berbeda-beda ada yang setuju dan ada pula yang
kurang sependapat dengan hadits di atas. Madzhab Hanafiyyah misalnya,dalam hal
perwalian dalam pelaksanaan akad nikah imam hanafi tidak memasukkan harus
adanya wali sebagai syarat sahnya suatu akad pernikahan.Pendapat hanafi ini
didasarkan pada interpretasi imam hanafi dalam memahami hadits di atas.Sedangkan menurut pendapat imam as-Syafii adanya wali dalam akad nikah
merupakan syarat sahnya suatu pernikahan.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa rukun dalam pernikahan adalah adanya calon
suami-istri, adanya wali dari pihak perempuan, adanya saksi sekurang-kurangnya
dua orang, dan ijab-kabul. Pada konteks pernikahan via-online kesemua rukun
diatas telah terpenuhi dan kedua mempelai siap untuk dinikahkan. Dan di dalam
syarat sahnya suatu pernikahan terdapat akad nikah yang harus dilakukan
diantara kedua belah pihak. Adapun syarat sahnya suatu akad antara lain: (1) Shoriih
al-Ijab atau Jelasnya dalil ijab atas kabul (2)muwafiq al-Qabul li
al-Ijab atau Qabul yang sesuai dengan Ijab (3) Fi mauqi’in wahidin atau
Akad dilakukan pada satu majelis (waktu).
Pada pelaksanaan akad
nikah,pengucapan ijab dan qabul diharuskan dilakukan secara sharih atau
jelas dan dapat dimengerti oleh semua yang hadir. Kalimat yang digunakan
diharuskan diucapkan secara langsung dan tidak menggunakan istilah ataupun
perumpamaan-perumpamaan yang sulit dipahami. Selain itu jawaban qabul harus
sesuai dengan ijab yang telah diucapkan oleh wali dari calon istri dan jawaban
qabul harus segera diucapkan setelah pelaksanaan ijab. Adapun yang terakhir
adalah pelaksanaan akad harus dalam satu majlis.
Dalam hal akad
nikah,para ulama fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah harus dilakukan
dalam satu majlis. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam
menginterpretasi dan memahami makna dari ungkapan dalam satu majlis tersebut.
Dalam madzhab as-Syafi’iyyah ungkapan dalam satu majlis ini
dimaknai secara dhahiriyyah, dalam arti semua pihak yang melaksanakan akad
harus berada pada satu tempat yang secara tidak langsung tentu harus dilakukan
dalam satu waktu yang sama. Sedangkan para ulama madzhab hanbali memahami
ungkapan dalam satu majlis itu dengan satu waktu,dalam arti
pelaksanaan akad tidak mamperdulikan keterikatan tempat.
Jika dititik tolakkan
pada kedua pendapat di atas dan dilihat dari syarat sahnya suatu akad
maka,diisinilah sebenarnya letak titik permasalahan yang ada dalam pernikahan
yang dilaksanakan secara via-online. Pada era teknologi yang serba canggih ini,
khususnya dalam penggunaan fasilitas internet
secara via-online , kita dapat bertatap muka dan berkomunikasi dengan lawan bicara
kita seperti halnya kita bertemu dan berkomunikasi dengan lawan bicara kita
secara langsung. Menurut pandangan madzhab hanbali,hal ini tentu tidak akan
mengurangi syarat sahnya suatu akad nikah seperti yang telah dijelaskan diatas,
karena pada intinya ijab dan qabul dalam hal ini dapat dilakukan secara jelas
asalkan dilaksanakan pada satu waktu dan calon istri, wali serta para saksi
bisa melihat kehadiran calon suami
secara via-online. Sedangkan menurut pendapat ulama syafi’iyyah, pernikahan
yang dilaksanakan secara via-online ini tentu belum memenuhi syarat sahnya
suatu akad nikah,karena pada intinya akad nikah yang dilakukan dengan cara yang
seperti ini tidak terikat tempat (tidak dalam satu tempat) dan orang yang
bersangkutan tidak ber-talaqqi dan musyafahah (tidak bertemu dan
mengucapkan akad nikah secara langsung) dalam pelaksanaan akad tersebut.
Jadi dilihat dari
rangkaian pendapat para ulama terkait permasalahan ini dapat disimpulkan bahwa,
dalam menetapkan hukum pernikahan secara via-online, dari kalangan ulama
fiqhiyyah terbagi menjadi dua pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa jenis
pernikahan seperti ini hukumnya sah-sah
saja dengan dasar kata “majelis” dimaknai dengan “satu waktu”, dalam arti, yang
terpenting akad nikah masih dalam satu waktu tanpa harus terikat dengan suatu
tempat .Sementara pendapat yang kedua mengatakan bahwa jenis pernikahan seperti
ini hukumnya tidak sah dengan dasar kata
“majlis” dimaknai dengan “suatu tempat”. Dalam arti, akad harus dilakukan dalam
satu tempat di mana kedua belah pihak bisa saling bertemu secara langsung.
Dan adapun mengenai
proses jabat tangan antara wali atau
penghulu dengan calon suami dalam akad nikah, secara mantuq atau
eksplisitnya belum ditemukan dalil yang
sesuai. Namun secara mafhum atau implisitnya telah cukup banyak
ditemukan dalil-dalil yang sesuai. Dan adapun diantaranya adalah dalil tentang
jabat tangan dalam bai’at (janji suci) sebagaimana terdapat pada sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim,bahwa Rasulullah saw bersabda : “ Barang siapa
yang membaiat seorang imam (pemimpin) sambil menjabat tangannya,maka hendaklah
ia menaati semampunya “. (HR.Muslim)
Sekalipun belum ditemukan dalil yang sesuai tentang
jabat tangan dalam akad nikah,namun jika dilihat dari segi fungsionalnya
tradisi jabat tangan dalam akad nikah amat bernilai positif karena disamping
mendapat ampunan dari Allah swt dan dapat mempengaruhi ikatan bathiniyyah
antara kedua belah pihak yang berakad layaknya keduanya sedang berbai’at, tradisi
jabat tangan dalam akad pernikahan juga dapat memperkokoh keyakinan calon suami
atas keputusan yang ia ambil sebagai calon imam (pemimpin) bagi calon istrinya.
Dari keterangan di
atas,dilihat dari segi manfaat dan nilainya dapat disimpulkan bahwa hendaknya
kita sebagai seorang muslim dapat menentukan mana diantara kedua pendapat yang paling baik bagi diri kita. Selain itu
hendaknya kita sebisa mungkin menjauhi hal-hal yang belum jelas hukumnya secara
substansinya.
Demikian juga dengan
akad nikah yang dilaksanakan secara via-online ini,terkait dari substansinya
yang belum jelas hukumnya dan menimbulkan keraguan dan perbedaan dari kalangan
ulama ,maka dari itu hendaknya sebisa mungkin pelaksanaan akad nikah secara via-online
seperti ini tidak dilakukan, karena
selain sebab belum diketahui sah-tidaknya
akad nikah. Dari akad nikah ini juga akan timbul keraguan apakah kedua
calon suami-istri itu adalah benar-benar calon mempelai yang sesungguhnya atau
hanya sebuah rekayasa tekhnologi belaka.
Maka dari pada itu
alangkah baiknya apabila suatu pernikahan itu
dilaksanakan setelah kedua calon mempelai tersebut benar-benar siap
serta dapat dipertemukan dan disatukan sehingga suatu akad nikah dapat
dilakukan secara lazim sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan oleh nabi.
Wallahu ‘Alam bi as-Showab...
Moch. Ilham
Alumni Pondok Modern
Al-Islam Nganjuk
Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir (IAT) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
aku mau sharing artikel ini di blog ku ya,,, tetep aku cantumkan sumbernya kok
BalasHapusterimakasih artikelnya sangat membantu 😊
BalasHapusnice share gan, bagus artikelnya
BalasHapussouvenir pernikahan unik
makasiiih
BalasHapus